Setiap anak memiliki bakat. Ia lahir bersama fitrah itu, meski kadang butuh waktu dan ruang untuk benar-benar terlihat. Kegiatan Kemah Bakti adalah salah satu momentum penting di mana bakat itu bisa muncul secara alami.
Di tenda perkemahan, kita bisa melihat siswa yang biasanya pendiam di kelas ternyata cekatan mengurus masakan untuk regunya. Ada pula yang lihai menyusun jadwal dan mengatur teman-temannya agar disiplin. Tidak ketinggalan, anak yang spontan memimpin yel-yel dengan penuh percaya diri, memantik semangat kelompok. Semua itu terjadi bukan karena paksaan, melainkan karena mereka diberi kesempatan untuk mengeksplorasi diri.
Inilah, bakat anak tidak dibentuk dari luar, melainkan ditumbuhkan dari dalam. Tugas pendidik dan orang tua hanyalah menyediakan lahan yang subur agar benih itu bisa tumbuh. Kemah Bakti adalah salah satu lahan itu—sebuah laboratorium kehidupan yang memberi ruang bagi anak untuk mencoba, salah, belajar, lalu menemukan dirinya.
Sayangnya, sering kali bakat baru dianggap sebatas prestasi akademik. Padahal, kemampuan memasak, mengorganisasi, menghibur teman, atau bahkan sekadar menjaga kerapian tenda adalah bagian dari bakat yang sama berharganya. Semua itu kelak akan menjadi bekal hidup yang nyata.
Karena itu, kita perlu memandang Kemah Bakti bukan sekadar kegiatan tahunan, tetapi sebagai kesempatan emas untuk membaca peta bakat anak. Dari sana, kita bisa mendampingi mereka tumbuh sesuai fitrah, bukan menyeragamkan mereka dengan standar yang kaku.
Kemah Bakti pada akhirnya bukan hanya tentang tenda, api unggun, atau lomba. Ia tentang menemukan siapa diri kita, dan siapa anak-anak kita, dalam suasana kebersamaan yang hangat.