Setelah lima hari bermukim di rumah keluarga asuh, banyak siswa SMPIT Harapan Bunda pulang dengan cerita yang tak sekadar lucu atau seru, tapi menggetarkan: tentang ibu asuh yang tetap tersenyum meski hidup sederhana, tentang ayah asuh yang berangkat kerja pagi, tentang anak-anak kecil di kampung yang tersenyum dan saling berbagi. Dari sanalah, pelajaran tentang empati sosial menemukan wujud paling nyatanya.
Empati sering diajarkan dalam bentuk teori, bahwa kita harus memahami perasaan orang lain, menolong yang lemah, dan bersikap lembut terhadap sesama. Tapi teori itu kerap menguap di udara ketika anak-anak tidak pernah melihat atau mengalaminya langsung.
Melalui magang sosial, empati bukan lagi kata, melainkan pengalaman. Anak melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tidak semua orang hidup dengan kemudahan yang sama. Mereka menyaksikan perjuangan orang lain dalam hal-hal sederhana: menjaga keharmonisan keluarga meski penghasilan pas-pasan, bersyukur meski serba terbatas, berbagi tanpa pamrih.
Di situlah hati mereka bergerak dan pendidikan sejati bekerja diam-diam.
Tentu kita semua sadar bahwa setiap anak lahir dengan sisi sosial: dorongan alami untuk terhubung, memberi, dan peduli. Namun fitrah itu sering tumpul oleh gaya hidup individualistik, oleh layar-layar digital yang membuat empati terasa cukup dengan mengetik “semoga cepat sembuh”.
Magang sosial menghidupkan kembali fitrah itu. Anak-anak belajar menyapa tanpa canggung, membantu tanpa disuruh, mendengar dengan tulus. Mereka belajar bahwa kebahagiaan sejati sering kali datang bukan dari menerima, tetapi dari memberi.
Kemampuan berempati adalah salah satu tanda kematangan spiritual dalam pendidikan aqil baligh. Anak yang mampu merasakan penderitaan orang lain dan tergerak untuk membantu telah menunjukkan tanda kedewasaan iman.
Mereka belajar bahwa salat dan sedekah bukanlah ritual kosong, tetapi panggilan untuk membangun kepekaan terhadap sesama. Bahwa menjadi hamba Allah bukan hanya berdoa, tapi juga berbuat baik di bumi-Nya.
Salah satu krisis terbesar generasi masa kini adalah defisit empati. Di tengah dunia digital yang serba cepat dan personal, kemampuan merasakan penderitaan orang lain sering melemah. Anak mudah kagum pada influencer, tapi asing terhadap tetangga.
Magang sosial adalah ruang latihan agar mereka kembali manusiawi. Di sana, mereka belajar menatap mata orang lain, bukan layar; belajar memegang tangan, bukan hanya mengetik pesan; belajar mendengar kisah, bukan sekadar menggulir berita.
Ketika para siswa kembali ke sekolah, mungkin pakaian mereka tak lagi seputih sebelum berangkat, tapi hati mereka pasti lebih bersih. Mereka membawa pulang sesuatu yang tak bisa dibungkus: rasa iba, syukur, dan kesadaran bahwa dunia ini jauh lebih luas dari layar ponsel.
Empati sosial yang tumbuh dari pengalaman nyata akan menjadi fondasi karakter kuat di masa depan. Sebab anak yang mampu merasakan penderitaan orang lain, akan lebih berhati-hati dalam berkata, lebih lembut dalam bersikap, dan lebih tulus dalam membantu.