Selama lima hari, para siswa SMPIT Harapan Bunda Purwokerto meninggalkan kenyamanan rumah dan rutinitas sekolah. Mereka bermukim di rumah keluarga asuh, hidup sebagaimana masyarakat hidup: ikut menyiapkan makanan, membersihkan rumah, berinteraksi dengan warga, bahkan terjun membantu pekerjaan harian keluarga asuhnya.
Magang sosial ini bukan sekadar program tambahan, melainkan bagian dari upaya mengembalikan pendidikan pada hakikatnya: membentuk manusia yang mengenali dan mengembangkan potensi fitrahnya. Anak-anak tidak hanya diajak tahu, tetapi mengalami, menggunakan seluruh inderanya untuk memahami kehidupan.
Di rumah keluarga asuh, pelajaran tentang tanggung jawab tidak lagi berupa nasihat, tapi tindakan nyata: bagaimana membantu mencuci piring tanpa disuruh, menyapa tetangga dengan sopan, atau menjaga waktu salat berjamaah bersama keluarga. Nilai-nilai yang selama ini diajarkan di ruang kelas menemukan konteksnya dalam kehidupan riil.
Usia SMP adalah masa menuju aqil baligh, masa ketika anak mulai membangun kesadaran moral, tanggung jawab sosial, dan spiritualitas yang matang. Magang sosial memberi ruang aman untuk berlatih menjadi pribadi yang lebih dewasa.
Mereka belajar bahwa menjadi manusia bukan hanya soal prestasi akademik, tetapi juga kemampuan berempati, melayani, dan menempatkan diri secara tepat dalam masyarakat. Pendidikan aqil baligh tidak berhenti pada penguasaan ilmu, tetapi juga kemampuan menimbang baik-buruk, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atas dampaknya.
Banyak yang menyebut anak-anak masa kini sebagai “Strawberry Generation”, indah dilihat, rapuh dipegang. Mereka tumbuh dalam dunia serba instan, nyaman, dan penuh layar. Ketika kenyataan hidup menuntut ketangguhan, sering kali mereka goyah.
Program magang sosial seperti ini adalah “antibodi” terhadap gejala itu. Di tengah realitas sederhana desa atau lingkungan keluarga asuh, anak belajar menghadapi ketidaknyamanan: tidur tanpa AC, membantu mencangkul, atau menahan diri untuk tidak selalu memegang gawai. Justru dari situ muncul daya lenting (resilience) dan kesadaran bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kemudahan.
Magang sosial membongkar dinding antara “sekolah” dan “kehidupan”. Ia memperlihatkan bahwa belajar tidak hanya terjadi di kelas, tetapi di mana pun manusia bertumbuh. Pendidikan sejati, sebagaimana ditekankan dalam konsep fitrah, adalah perjalanan menumbuhkan kemanusiaan seutuhnya.
Maka, ketika para siswa kembali dari rumah keluarga asuh dengan cerita, tawa, dan refleksi yang hangat, sejatinya mereka telah membawa pulang sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar laporan kegiatan: mereka membawa pulang pengalaman menjadi manusia. [humas]