Sebut saja namanya Riko. Umurnya hampir 10 tahun. Kehadirannya tampak mencolok diantara siswa-siswi kelas 1 SDIT Harapan Bunda. Dulu, sebelum mereka mengenal dekat siapa Riko, mereka kerap bertanya mengapa ada siswa berbadan besar yang masih cadel di kelas mereka. Keributan mereka biasanya diakhiri dengan jurus manis dari guru pendamping Riko. “Karena Riko tidak beda dengan kalian yang berhak sekolah dan mempunyai teman.” Tapi ya ampun! Anda benar! Tentu saja itu bukan akhir dari sebuah keingintahuan yang sedang meledak-ledak di benak anak-anak ini. Ketidakmandirian Riko, kesulitannya membedakan huruf b dan d, angka 4 dan 7, huruf hijaiyah ba, ta, tsa, kelambatannya berhitung, ketidakmampuannya mengingat nama teman-temannya hingga kecengengannya ketika seorang teman tak sengaja menyenggolnya, menjadi pertanyaan besar, ada apa dengan anak laki-laki tambun ini? Ditambah belakangan mereka tahu umur Riko sudah hampir 10 tahun! Berarti, 3, 4 tahun lebih tua dari rata-rata umur anak-anak kelas 1 SD.
Tak pelak hari-hari di bulan-bulan pertama Riko ada di kelas 1 adalah masa-masa penuh perjuangan bagi guru kelas, guru pendamping Riko maupun teman-teman sekelasnya. Kekacauan demi kekacauan silih berganti mewarnai suasana belajar di kelas kami setiap hari. Tiap siswa seolah ingin menggenapkan rasa penasaran mereka terhadap Riko dengan melakukan berbagai ‘gangguan’ kepadanya.
Anak-anak itu paling senang menakuti Riko yang cengeng. Riko, yang selalu berteriak memanggil “Umiiiiiii….!” kala teman-teman menggodanya, sempat menjadi trendsetter di sekolah kami. Tiap anak yang berpapasan atau mendengar suara Riko akan spontan berteriak, “Ummiiii….!” Entah kenapa mereka begitu tergoda meledek Riko jika melihatnya tergoboh-goboh dengan tubuh besarnya memasuki kelas. Ada yang memperlihatkan ular plastik, belalang sembah yang didapatkan di halaman sekolah atau sekedar mengacung-acungkan jarum suntik mainan ke arah lengan Riko. Riko paling takut dengan jarum suntik. Mungkin dia mempunyai pengalaman tak menyenangkan yang cukup membekas tentang jarum suntik ini. Riko bakalan histeris melihat jarum suntik meskipun hanya mainan. Dan anak-anak lainnya terkekeh melihat Riko yang terbirit-birit oleh sekeping mainan plastik. Riko menjadi nama yang paling dikenal di kelas kami. Sementara Evan, Farel dan Alva adalah nama-nama lain jagoan ‘Three Muskeeters’ penganggu Riko dan ‘perusak’ ketentraman hidup kelas. Dari otak merekalah modus operandi cara terbaru mengganggu Riko seringnya berasal.
Dan inilah awal prahara itu. Akibat provokasi dari kelompok The Three Muskeeters, beberapa siswa putra tidak merasa cukup dengan meledek dan ‘mengolok-olok’ Riko. Mereka mulai melakukan manuver-manuver baru. Memainkan sandal Riko sebagai bumerang, menyembunyikan kotak pensil, penggaris, buku tulis hingga piring makan siang Riko. Riko yang secara psikis tidak berbeda jauh dengan bocah berumur 3, 4, tahun, lama-lama murka. Riko berubah menjadi banteng. Dia meradang, memberontak dan mengamuk sejadi-jadinya. Dia melempar tas teman-temannya dan semua benda yang tertangkap sudut matanya. Kakinya menendang-nendang dan menginjak-injak pra karya semua siswa hari itu hingga rata dengan tanah. Tangannya yang besar bagaikan badai memporak-porandakan meja dan kursi hingga berjumpalitan kesana-kemari. Wajahnya berkerut-kerut menakutkan. Matanya berkilat-kilat. Mulutnya meracau dengan bahasa tak jelas memaki-maki semua orang. Dadanya turun naik tersumbat amarah yang bergumpal-gumpal. Kedua tangannya mengepal kuat siap meninju siapa saja yang mencoba mendekatinya. Anak-anak perempuan menangis menjerit-jerit ketakutan. Wajah para tersangka kekacauan pucat pasi, tak menyangka niat candaan mereka berubah menjadi bencana. Nyali mereka mengkerut habis dibabat geraman-geraman Riko yang masih berposisi kuda-kuda dengan mata nyalang mengerikan.
Aku terpana, lumpuh tak bisa berbuat apapun. Mataku nanar menyaksikan ruang kelas tak berbentuk bak kapal laut tertimpa meteor. Rasanya ingin ikut pula menjerit dan menangis. Tetapi alarm di kepalaku mengingatkan, ini harus segera dihentikan. Badanku tidak sebesar Riko. Melihatnya bagaikan raksasa mengamuk , menuntunku berpikir cepat untuk menyelamatkan terlebih dahulu anak-anak lain dari ketakutan dan kemungkinan terluka. Kubuka pintu kelas lebar-lebar dan berseru agar semua anak keluar dari kelas saat itu. Guru pendamping Riko mati-matian berusaha mendekap Riko. Sayangnya tenaganya tidak cukup kuat menangkal energi yang tercetus dari sebuah amarah. Seorang kanak-kanak sekalipun. Tubuhnya meliuk-liuk terhimpit pertahanan tubuh Riko yang kokoh. Tak berapa lama guru pendamping terjungkal tak berdaya di ujung tendangan Riko. Kami berdua mundur. Mulai terdesak dan putus asa. Leherku tercekat berusaha keras membendung air mata yang mendesak-desak pelupuk mata. Sementara Riko masih berteriak-teriak dengan mata berapi-api. “Ya Allah,…bantu kami,”… bisikku lirih diantara ketiadaan kemungkinan yang bisa kulakukan lagi.
Keesokan harinya, aku mendapati diriku dalam keadaan frustrasi dan terkepung oleh komplain orang tua yang anaknya terluka akibat insiden kemarin. Tidak hanya itu. Kejadian ini rupanya menjadi pengorek ‘luka lama’ bagi anak-anak yang pernah terlukai oleh perilaku agresif Riko sebelum-sebelumnya. Sebagian mereka meminta anaknya pindah kelas. Beberapa bahkan bersikap ekstrim menuntut Riko dipindahkan dari sekolah kami atau mengancam anak mereka yang akan keluar. Dengan bantuan kepala sekolah, sekuat tenaga kami berusaha menenangkan, menjelaskan, menerangkan dan terutama mengajak mereka berdialog sambil mengingatkan kembali akan konsep sekolah inklusi yang diterapkan sekolah kami.
Riko pada dasarnya adalah anak yang ramah dan senang berteman. Namun Allah memberinya keistimewaan. Learning disability yang disandangnya membuatnya termasuk dalam katagori slow learner seperti yang disebutkan oleh konselor psikolognya. Menurut konselor tersebut emosi Riko yang meledak-ledak dan perilakunya yang kadang agresif adalah ungkapan frustrasinya terhadap ketidakmampuannya mencerna pengetahuan secepat teman-temannya.
Sebagai seorang guru yang masih hijau dalam penanganan anak berkebutuhan khusus, permohonanku pada Tuhan cuma satu. Kiranya Dia menyadarkanku untuk menerima kenyataan bahwa tiap anak diciptakan tidak sama. Dan Allah Maha Bijaksana dengan keadilanNya menyempurnakan kejadian manusia dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak bisa tidak. Semua orang pastilah memiliki nilai manfaat sesuai dengan tujuan penciptaannya. Kupikir dengan bekal pemahaman ini, akan membantuku meluaskan kesabaran dan melipatgandakan energiku untuk belajar lebih keras seni menjadi seorang guru. Jujur sepertinya aku mulai mencintai pekerjaan ini.
Aku mulai banyak menimba ilmu. Bukan dari buku-buku teks tebal yang ada di perpustakaan, melainkan dari pergulatan langsung dengan anak-anak melalui celoteh, respon dan reaksi mereka terhadap beberapa hal yang aku lontarkan. Dari situ aku coba tarik benang merah yang mengikatku pada sebuah pemahaman baru. Pemahaman itu bergerak dari sisi ke sisi mengisi lubang-lubang kosong di peta pemikiranku. Hingga puzzle itu lengkap tertutup menjadi pengetahuan yang bersumber langsung dari kearifan anak-anak.
Aku pun mulai bisa membaca pola perilaku Riko. Dari sana aku leluasa memahamkan teman-temannya akan kondisi Riko dan bahwa setiap perbedaan yang kita miliki adalah rahmat yang mampu menyatukan kita ke dalam cintaNya. Dan orang yang mendapat cintaNya pasti orang yang sangat istimewa, karena ia menjadi pantas masuk surga.
Dalam beberapa bulan ini suasana kelas mulai terkondisikan. Teriakan panjang Riko ketika dia tidak sabar mengerjakan worksheet tidak lagi menjadi tanda bersiap sport jantung. Sekarang kami tahu jika Riko bertingkah demikian, Riko hanya perlu menghirup udara segar. Guru pendamping Riko akan mengajaknya keluar berjalan-jalan dan mengajaknya bermain. Aku sendiri tetap bekerja ekstra agar membuat bocah-bocah berumur 6, 7 tahun itu semakin mengerti keistimewaan Riko. Sebenarnya bukan hanya terhadap Riko. Tetapi aku menghendaki mereka menerima siapa saja teman-teman lain yang berkebutuhan khusus untuk diakui keberadaanya dan diterima keadaannya sewajar mungkin dengan tanpa syarat. Berbagai cerita, dongeng hingga video inspiratif kusuguhkan di sela-sela pelajaran. Alhamdulillah, it works!
Buatku pribadi, Riko adalah guru besarku. Ada terlalu banyak pelajaran yang bisa kupotret dari keberadaanya di sekolah kami. Sebut saja, mulai dari jarak rumahnya ke sekolah. Jika jam masuk sekolah kami pada pukul 06.45 dan Riko adalah siswa yang jarang sekali terlambat apalagi sampai tak masuk sekolah, kita bisa bayangkan jam berapa dia harus bangun dan memulai aktivitas paginya, jika perjalanan dari rumahnya ke sekolah saja 60 menit. Belum lagi dengan kegiatan di luar sekolah yang jarang terlewatkan oleh Riko. Kurasa tak ada seorang anakpun yang semangat belajarnya setinggi Riko.
Yang sangat menginspirasiku adalah sosok bunda Riko. Penerimaannya yang total terhadap kondisi Riko mengisyaratkan kondisi hati yang telah lulus uji kesabaran dan keikhlasan. Cintanya yang tanpa syarat mengingatkanku bahwa seandainya sebuah dunia pernah terancam runtuh, maka rasa syukur adalah sebuah penyelamat dan penjamin keberlangsungan kehidupan yang harus terus berjalan.
Anak-anak tetaplah kertas putih. Kepolosannya bersifat natural, murni, bersih dan tak tercemari oleh segala jenis prasangka dan kepentingan apapun. Itulah kenapa, konon senyum anak-anak, celoteh anak-anak, plus tingkah laku menggemaskan sekaligus ‘menjengkelkan’ mereka sesungguhnya adalah pesan Tuhan kepada orang dewasa agar selalu kembali kepada yang natural, yang murni, yang bersih. Jika kita mau jujur, sesungguhnya bukan kita yang banyak memberi kepada anak-anak kita. Tetapi berkat keberadaan merekalah kita berkesempatan bisa terus belajar sabar, jujur, tulus dan menerima keadaan. Bukankah itu sebuah pemberian yang tak akan terbalas hingga kita berhenti jadi orang tua nanti saat nama kita telah menjadi kenangan?
Sesungguhnya waktu adalah penyembuh sejati. Ruang kelas kami tetap sama. Sama dengan anak-anaknya yang penuh semangat dan ceria, sama dengan tingkah polah mereka yang masih menguras energi, sama dengan kegaduhan yang diciptakannya sepanjang waktu. Pun sama dengan kemajuan-kemajuan menakjubkan yang secara ajaib membuat kami semua bertumbuh dan berkembang secara mengagumkan.
Apakah Riko telah berubah menjadi bintang kelas yang punya nilai sekolah paling tinggi? Lalu teman-temannya berhenti meledeknya? Tentu saja tidak. Riko tetaplah menjadi Riko dengan segala keistimewaanya. Dan teman-temannya tetaplah anak-anak yang ketika bertemu dengan sesamanya akan saling berinteraksi alami dan normal. Mereka tetap bertengkar, berteman, bergandengan tangan lalu bertengkar lagi. Hanya saja mereka telah menempatkan Riko bukan lagi sebagai objek gurauan karena Riko berbeda. Mereka menerima Riko sebagai teman yang biasa sekaligus luar biasa. Luar biasa karena dalam beberapa hal teman-temannya menemukan sesuatu yang lebih pada Riko. Riko ternyata murah hati dan penyayang binatang yang hebat.
Dalam sebuah acara pentas seni sekolah, kelas kami sepakat menampilkan kebolehan Riko. Dia akan tampil tunggal untuk berpantomim. Sorak sorai teman-teman sekelas Riko mengelu-elukan namanya membahana, ketika nama Riko disebut pembawa acara untuk mendapat giliran tampil. Riko dengan penuh percaya diri berpantomim di panggung. Senyumnya merekah seiring tepuk tangan penonton melihat penampilannya hingga ia menghilang di balik layar. Kusempatkan beberapa detik melirik tempat duduk bunda Riko di sisi sebelah kanan. Terlihat tangannya menghapus sesuatu di pipinya. Jika ada orang bertanya siapakah orang yang paling bahagia di hari itu maka rasa-rasanya itu adalah aku.
Purwokerto, 9 Nopember 2013
Alhamdulillah atas ijin Allah dan karuniaNya, bantuan dan kerjasama teman-teman, tulisan ini jadi pemenang kedua di lomba menulis guru pada Muswil JSIT III Jateng yang berlangsung kemarin di Salatiga, 23-24 Nopember 2013.
keceriaan di kelas kami keceriaan di kelas kami
Penulis Ustadzah Susi Harini, S.E