Di kelas 7, materi teks surat kerap menjadi bagian awal dari pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, jika kita cermati lebih dalam, surat bukan sekadar urusan tata bahasa dan aturan format. Surat adalah bahasa hati yang dituangkan dalam kata.
Karena itu, sebelum siswa diajak menulis surat, ada baiknya mereka belajar terlebih dahulu mengenali emosi diri. Apa yang sedang mereka rasakan? Senang, sedih, marah, atau mungkin rindu? Dengan memahami perasaan, mereka bisa lebih mudah menuangkan isi hati ke dalam surat.
Bayangkan seorang siswa yang sedang merindukan sahabat lamanya. Ketika diminta menulis surat pribadi, ia akan menulis dengan penuh perasaan. Kata-katanya mengalir, tulus, dan jujur. Inilah inti pembelajaran menulis: bukan hanya soal ejaan benar, tetapi juga soal kejujuran ekspresi.
Selain itu, mengenal emosi diri membantu siswa lebih peka terhadap orang lain. Saat mereka menulis surat undangan, misalnya, ada kesadaran bahwa tulisan itu ditujukan kepada orang lain yang harus dihormati. Maka, lahirlah sikap sopan santun dalam bahasa.
Dengan cara ini, pembelajaran teks surat tidak terasa kering atau sekadar menghafal struktur. Siswa belajar bahwa setiap kata yang ditulis adalah cermin dari perasaan sekaligus penghargaan kepada orang lain.
Pada akhirnya, menulis surat menjadi latihan yang menyatukan tiga hal sekaligus: keterampilan bahasa, kejujuran perasaan, dan kepedulian sosial. Semua itu bermula dari satu langkah sederhana—berani mengenali emosi diri.