Wow pentigraf? Barangkali serupa itu pertanyaan yang muncul ketika mendengar pentigraf. Orang-orang cenderung lebih mengerti dan mengenal cereta pendek atau cerpen dibanding sub menulis fiksi lainnya. Kenyataannya ada sub menulis fiksi yang bisa menjadi alterantif di tengah kebuntuan ide dan minimnya bendaraan kosa kata, yakni melalui pentigraf.
Pentigraf merukan akronim Cerpen Tiga Paragraf. Sesuai dengan namanya, karya fiksi ini terdiri dari tiga paragraf yang memiliki fokus pada satu tema, alur cerita, dan tokoh sentral. Selain itu, pentigraf biasanya tersusun atas 210 kata dengan setiap paragraf maksimal 10 kalimat.
Melihat hal demikian, maka mempelajari pentigraf menjadi jalan tengah untuk terus mengembangkan kemampuan menulis siswa. Hal inilah yang dilakukan dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia. Selepas siswa selesai mengikuti penilaian tengah semester (PTS), mereka kembali lagi menjalani aktivitas KBM seperti biasanya.
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pasca PTS, diselipkan satu materi pengembangan diri, yakni belajar menulis pentigraf. Para siswa diajak berlatih mengembangkan ide dalam bentuk cerita pendek tiga paragraf. Hasilnya, para siswa mampu menemukan mata air ide dan bisa mengembangkan dalam penulisan.
“Anak-anak selepas menegenal pentigraf, mereka melanjutkan dengan proses kreatif. Proses kreatif itu dimulai dengan menentukan tema cerita, kemudian mencari permasalahan dari tema yang diangkat. Permasalahan tema itulah yang menjadi sumber dasar ketika melakukan pengembangan cerita,” terang Ustadz Bani.
Banyak ide ide kreatif yang dihasilkan dalam proses penulisan. Ada yang mengambil tema persahabatan, menceritakan persahabat seekor kerbau dan jalan. Ada juga cerita tentang buku ajaib pada suatu ruang. [asr]